Ibadah haji dan umrah adalah perjalanan spiritual yang penuh makna. Di setiap rukun dan sunnahnya, terkandung pelajaran hidup yang mendalam, termasuk dalam pelaksanaan tawaf dan sa’i. Namun, bagi sebagian besar jamaah, sa’i sering dirasakan lebih melelahkan dibandingkan tawaf. Mengapa demikian? Mari kita renungkan bersama.
1. Perbedaan Gerakan Fisik
Tawaf dilakukan dengan berjalan mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh putaran. Gerakannya relatif konstan, mengalir, dan tanpa henti. Sementara itu, sa’i mengharuskan jamaah untuk berjalan, bahkan berlari kecil (jogging) pada beberapa bagian antara Bukit Shafa dan Marwah, juga sebanyak tujuh kali. Perbedaan intensitas ini membuat sa’i terasa lebih melelahkan.
Dalam pandangan Islam, setiap langkah kita dalam sa’i adalah cerminan perjuangan Hajar, ibu Nabi Ismail, yang berlari-lari mencari air untuk anaknya. Allah memuliakan usaha ini dengan menjadikannya bagian dari ibadah haji dan umrah.
2. Panjangnya Jarak Sa’i
Jarak antara Bukit Shafa dan Marwah adalah sekitar 450 meter, sehingga total perjalanan sa’i mencapai kurang lebih 3,15 kilometer. Berbeda dengan tawaf yang jaraknya lebih pendek dan terasa ringan karena dilakukan dalam satu area melingkar yang dekat dengan Ka’bah.
Pelajaran yang bisa diambil:
Allah ingin mengingatkan kita bahwa jalan perjuangan hidup sering kali panjang dan berliku. Dalam setiap langkah sa’i, kita diajarkan untuk tidak menyerah, sebagaimana Hajar yang terus berusaha dengan penuh tawakal.
3. Suasana dan Konsentrasi Jamaah
Ketika tawaf, jamaah berada di sekitar Ka’bah, tempat yang membawa ketenangan spiritual. Pemandangan Ka’bah menguatkan hati, menghadirkan rasa damai, dan membantu melupakan rasa lelah. Sebaliknya, dalam sa’i, suasana cenderung lebih monoton, dengan pandangan hanya tertuju pada lorong panjang antara Shafa dan Marwah. Hal ini membuat fisik lebih cepat terasa letih.
Namun, di balik itu semua, sa’i mengajarkan pentingnya fokus dan keikhlasan. Ketika perhatian teralihkan dari keindahan visual, jiwa diajak untuk lebih mengingat Allah dalam hati dan zikir.
4. Kondisi Psikologis Jamaah
Sa’i biasanya dilakukan setelah tawaf, ketika fisik sudah mulai merasa lelah. Jamaah yang tidak mempersiapkan diri dengan baik, baik dari segi stamina maupun mental, akan lebih mudah merasakan kelelahan saat sa’i.
Di sini, Allah menunjukkan betapa pentingnya kesabaran dan keteguhan dalam menyelesaikan ibadah. Seperti firman-Nya: “Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”(QS. Al-Baqarah: 153)
5. Hikmah di Balik Kelelahan Sa’i
Meski terasa lebih melelahkan, sa’i adalah simbol perjuangan hidup manusia. Setiap langkah adalah doa, setiap lelah adalah pahala, dan setiap usaha adalah bentuk pengabdian kepada Allah. Allah tidak pernah membebani hamba-Nya di luar kemampuan mereka. Dengan niat yang ikhlas dan hati yang penuh tawakal, kelelahan sa’i menjadi ladang amal yang menghapus dosa dan meninggikan derajat kita di sisi-Nya.